SAMA-SAMA MALU
Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah usai kulalui, tepatnya pada tanggal 27,
28, 29 dan 30 April tahun 2009. Selama empat hari itu hidupku terasa di ujung
tanduk. “Inilah saat penentuan ‘Hidup Mati’ku ” pikirku waktu itu.
Bagaimana tidak? Itu adalah pengalaman pertamaku
dalam menempuh Ujian Nasional (UN). Sebenarnya dulu waktu aku masih duduk di
bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) wali kelasku waktu itu bilang kalau pemerintah
masih mempertimbangkan apakah pelajar tingkat SD maupun MI juga akan menempuh
Ujian Akhir Nasional seperti pelajar tingkat SMP/MTS dan SMA/MA baik sekolah yang
negeri maupun yang swasta sebagai tolak ukur pendidikan yang telah dijalani
selama mereka belajar di masing-masing tingkatan sekolah.
Selain itu, tujuan lain dari Ujian Akhir Nasional
juga untuk memudahkan pemerintah dalam menilai kemampuan pelajar negeri ini
dengan menetapkan kelulusan bagi mereka yang telah berhasil menempuh Ujian yang
dibuat oleh Dinas Pendidikan Nasional Pusat di Jakarta. Waktu itu nilai
kriteria kelulusan masih 4,00 dan untuk SD/MI mata pelajaran yang diujikan
adalah Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Aku dan
teman-temanku merasa terbebani dengan rencana itu, kami berpikir “Apa kita
mampu mengerjakan soal-soal ujian?”. Dibanding dengan anak-anak di Sekolah
Dasar yang notabene lebih banyak mendapat pembelajaran mengenai mata pelajaran
umum di sekolahku pembelajaran lebih ditekankan mengenai pelajaran keagamaan
kira-kira hampir 50 %.
Namun, setelah pemerintah melakukan rapat dengan
pihak Dinas Pendidikan akhirnya pada saat itu untuk SD/MI belum diterapkan
Ujian Akhir Nasional (UAN) namun masih tetap menggunakan sistem Ujian Akhir
Sekolah (UAS) seperti tahun-tahun sebelumnya. Lega rasanya hatiku saat itu
begitu pula dengan teman-temanku lainnya.
Tiga tahun telah berlalu, aku telah menempuh hampir
tiga tahun belajar di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tentu bukan hal mudah
untukku agar bisa diterima di Sekolah Negeri. Aku harus melewati tes tertulis
bersama dengan murid-murid Sekolah Dasar dan Madrasah dari berbagai daerah yang
masih mencakup satu kecamatan lain. Sekali lagi, aku kembali merasa bimbang
“Apa aku mampu bersaing secara langsung dengan mereka?” pikirku waktu itu. Saat
itu dibanding anak-anak dari MI, lebih banyak anak-anak dari Sekolah Dasar yang
ikut dalam tes itu. Dan aku juga sudah pesimis “Aku pasti gagal. Mereka
terlihat lebih pintar” batinku. Tapi, Tuhan berkata lain, aku tidak menyangka
bahwa aku dan teman satu sekolah sekaligus tetanggaku itu masuk dalam kategori
siswa yang lolos tes dan diterima di sekolah itu.
Usai menempuh Ujian Akhir Nasional, aku harus
menempuh Ujian Akhir Sekolah yang mencakup semua mata pelajaran kecuali mata
pelajaran Ujian Nasional dan juga Ujian Praktik. Aku begitu menikmati saat-saat
ujian tersebut, bagiku ini adalah pengalaman terakhirku menempuh ujian bersama
teman-teman dan sahabatku. Berat rasanya mengetahui dalam dua bulan terakhir
ini adalah masa terakhir kebersamaan kami di SMP. Banyak kejadian dan pengalaman
yang telah mengubah pandanganku terutama soal teman dan sahabat.
Memasuki akhir bulan Mei, aku dan teman-temanku
sudah bebas dari tugas sekolah. Tapi, untuk mereka yang mendapat tugas menjadi
panitia dalam acara Pentas Seni (PENSI) yang akan diadakan pada tanggal 4 Juni
nanti tengah sibuk mengadakan rapat dan persiapan dalam acara tersebut sebab
kepanitian acara tersebut dipegang oleh siswa dan siswi kelas sembilan. “Kalian
kan sudah menikmati acara PENSI dalam dua tahun terakhir, dan sebagai senior
kelas sembilan lebih bisa diandalkan dari pada adik kelas kalian yang masih
kelas tujuh dan delapan” kata Pak Gito guru mata pelajaran agama yang juga
sering aktif dalam kagiatan sekolah dan kesiswaan.
Sampai H minus 1 mereka masih sibuk mendekorasi
panggung dan melakukan geladi bersih untuk siswa-siswi kelas tujuh, delapan,
dan sembilan yang akan tampil untuk memeriahkan acara PENSI yang juga bisa
disebut acara perpisahan karena pihak sekolah tidak mengadakan acara perpisahan.
Esoknya, Acara Pentas Seni diawali dengan pameran
lukisan, batik, dan kerajinan tangan karya siswa-siswi kelas sembilan dan delapan
yang mendapat nilai di atas rata-rata, selanjutnya acara dimeriahkan oleh
penampilan vokal akustik dan band dari kelas delapan dan sembilan. Terlebih anggota
band yang tampil juga kebanyakan merupakan pemain basket dan voli yang menjadi
bintang di kalangan siswa dan siswi di
Sekolah ini karena merupakan cabang olah raga yang banyak diminati. Di puncak
acara penampilan dancer yang selalu ditunggu-tunggu dan dapat memeriahkan suasana
dari siswi-siswi yang tenar dan cantik yang selalu menjadi pusat perhatian di
kalangan siswa dan siswi.
Selama acara PENSI berlangsung, aku dan
teman-temanku menyempatkan untuk mengambil foto bersama, termasuk bersama
anggota band dan dancer khususnya dari kelas sembilan. Acara PENSI ini terbuka
untuk umum termasuk untuk warga sekitar yang melihat dari luar pagar sekolah. Alumni
juga sering datang dalam setiap acara PENSI di sekolah kami. Acara berlangsung
mulai pukul delapan pagi hingga pukul satu siang.
Sepulangnya dari acara PENSI di sekolah, aku
tiba-tiba dikejutkan dengan rencana dadakan ibu yang mengusulkan aku untuk
pergi berlibur ke Jakarta ke tempat kakak perempuanku selama menunggu hasil
pengumuman ujian. Tapi tidak seperti liburanku yang biasanya, kali ini aku
diminta untuk memberanikan diri naik travel milik Pak Gofur tujuan Jakarta yang
dulunya juga merupakan langganan ibu sewaktu dulu pertama kali pergi ke Jakarta
untuk membeli barang dagangan yang nantinya akan dijual di kampung. Tapi yang
benar saja, umurku belum ada lima belas tahun. “Mana berani aku?” tapi setelah
dipikir-pikir tidak ada salahnya aku mencoba. “Anggap ini adalah sebuah tes
agar aku bisa lebih mandiri. Agar aku tidak selalu bergantung kepada orang
lain”. Akhirnya aku setuju untuk pergi ke Jakarta sendiri. selepas Isya aku
dijemput oleh travel dan kami pun berangkat bersama penumpang lain.
Tepat subuh travel yang kutumpangi memasuki wilayah
Bekasi. Dan travel pun mulai mengantarkan penumpang satu per satu ke tempat
tujuan penumpang di daerah tersebut. “Aku pasti giliran terakhir” pikirku
karena tempat tinggal kakakku berada di Kawasan Industri tepatnya di Pulogadung
Jakarta Timur karena di daerah itulah tempat yang paling strategis menurut Ibu
untuk mencari barang dagangan karena berada tepat di belakang pabrik-pabrik
besar khususnya pabrik insdustri rumah tangga seperti sabun, selain itu juga
ada pabrik air minum, semen, pabrik pengolahan kayu, pabrik kertas, pabrik pengolahan
aluminium, pabrik plastik, penerbit buku seperti Balai Pustaka dan pabrik
pembuatan tempat kosmetik dimana kakakku bekerja selama kurang lebih tiga tahun.
Namun, kami menyempatkan untuk berhenti sejenak di mushola daerah perumahan
padat penduduk yang masih di daerah Bekasi untuk menunaikan sholat subuh,
setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
Seperti yang aku duga, aku mendapat giliran
terakhir. Bahkan parahnya Pak Gofur dan kenetnya Mas Azam malah membawaku ke
tempat kontrakan mereka di Kampung Rawa
Sari daerah Pasar Senen Jakarta Pusat.
“Tunggu
di sini aja yo, nduk?” kata Pak Gofur memasukkan tas ranselku ke dalam kamar
ukuran 5 x 5 meter yang ia jadikan tempat istirahat setelah semalaman
mengemudikan travelnya. Selain itu tempat itu juga ia jadikan pangkalan
menunggu penumpang yang akan memakai jasa travelnya untuk mengantarkan mereka
kembali ke Pekalongan dan daerah sekitarnya. Aku pun ikut masuk ke dalam
kontrakan itu.
“Kok
aku ga dianter ke rumah sekalian?” tanyaku.
“Gimana
nduk ya? Bapak lupa jalan ke rumahmu. Maklum ibumu kan udah lama ga naik travel
Bapak dan penumpang-penumpang Bapak itu kebanyakan dari daerah Jakarta Pusat
sama Jakarta Selatan. Jadi Bapak ga begitu hafal daerah ibumu” kata Pak Gofur
menjelaskan.
“Terus
aku pulangnya gimana?” tanyaku lagi.
“Nanti
Bapak telpon ibumu minta kakakmu jemput ke sini yo?” Pak Gofur pun menengok ke
luar kamar.
“Zam,
minta teh panas dua gelas buat genduk ini sambil nunggu kakaknya datang” kata
Pak Gofur pada Mas Azam yang sedang ngeteh di Warung depan kamar kontrakan itu.
“Oh,
siip” jawab Mas Azam yang tak lama kemudian datang membawa dua gelas teh panas.
“Diminum
dulu,nduk” ucap Pak Gofur memberikan segelas teh padaku.
“Terimakasih”
ucapku.
“Bapak
Mau pesan bubur ayam di depan kamu mau? Tadikan kita belum sempat sarapan.
Bapak takut nanti dimarahi ibumu kalau kamu kenapa-kenapa” ucapnya sembari menyeruput
teh panasnya.
“Makasih
tapi aku ga laper kok. Bapak aja yang pesan” jawabku.
“Ya
udah, kalo udah lapar bilang aja sama Azam. Biar dia yang belikan”
“Bapak
mau ke depan. Kamu istirahat aja dulu disini” ujarnya yang kemudian keluar
dengan membawa gelas tehnya. Aku melirik jam dinding kamar itu tepat pukul
tujuh lebih tiga puluh menit. Aku pun mengambil ponsel di tasku dan menelpon
kakakku.
Setelah menunggu selama kurang lebih
tiga puluh menit kakakku pun datang menjemputku dengan ojek. Setelah menempuh
perjalanan selama dua puluh menit kami pun sampai di rumah, aku pun langsung
mandi kemudian tidur karena semalaman berada di mobil membuat ototku terasa
kaku.
“Nduk,
mbak ga masak apa-apa tapi tadi mbak sempet beli nasi uduk kamu makan aja, mbak
kayaknya ga enak badan mau tiduran dulu” katanya.
Malam harinya saat hendak sholat
maghrib tiba-tiba aku mengetahui kalau aku datang bulan. Aku pun meminta
pembalut pada kakakku.
“Tapi
ini yang terakhir, kamu habis ini beli sendiri di Warung depan ya. Mbak ga enak
badan” katanya.
“Warung
depan? Maksudnya Warung punyanya Bu RT?” tanyaku. Aku memang hampir tiap tahun
melewatkan liburan di sini bersama ibu dan kakakku. Makanya tidak heran kalau
aku sedikit tahu siapa penghuni-penghuni tetap di sini.
“Iya.
Ini uangnya” ujarnya sambil memberikan uang dua puluh ribu. Aku pun setuju
walau sebenarnya aku agak malu untuk keluar rumah apa lagi ke Warung. Karena di
depan Warung itu seringkali dijadikan tempat berkumpul para pemuda di sekitar
sini. Tapi mau tidak mau aku harus kesana. Kalau dalam ilmu ekonomi mungkin ini
termasuk kebutuhan primer buatku.
Aku pun keluar rumah, Seperti yang
aku duga, dari teras aku sudah bisa melihat sekitar lima pemuda sedang
berkumpul bermain catur di depan Warung tepatnya di seberang jalan.
“Kenapa
mereka kumpulnya cepet banget sih?” pikirku. Aku mulai celingukan mengamati
suasana sekitar untuk memastikan bahwa suasana tidak ramai.
“Huft…
aman…” batinku karena tidak ada orang yang lewat seperti pagi dan sore hari
yang ramai dilewati oleh para pegawai pabrik yang hendak berangkat atau pulang
kerja.
“Aduh….
Gimana dong… aku takut. Bagaimana kalau
sampai mereka dengar kalo aku mau beli pembalut… kan malu” batinku. Aku pun menarik napas dalam lalu
mengeluarkannya perlahan.
“Oke.
Ga apa-apa. Mereka kan lagi sibuk main catur jadi mereka ga akan sempet
merhatiin aku” pikirku.
Aku pun berjalan ke Warung yang jaraknya sekitar
sepuluh meter dari rumahku. Sengaja aku tidak menatap ke arah pemuda-pemuda itu
karena aku tidak mau mengundang perhatian mereka. Sambil berjalan aku terus
berdoa dalam hati sambil menunduk.
“Semoga
mereka ga lihat aku… semoga mereka ga lihat aku… semoga mereka ga lihat aku”.
Saat aku berjalan tepat di depan mereka barulah aku sadar bahwa doaku tadi sia-sia.
Mereka tetap saja melihatku dan bersiul-siul. Bahkan mereka juga mulai berkata
usil.
“Neng,
dari mana mau kemana nih?” Tanya salah satu dari mereka.
“Baru
dateng ya? Kok jarang keliatan?” Tanya mereka lagi. Benar-benar menyebalkan
harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku pun tidak bisa berkata apa-apa
selain tersenyum pada mereka karena aku tidak mau mereka salah paham mengira
aku orang yang aneh.
Aku pun sampai di sebuah rumah yang menjadikan terasnya menjadi sebuah Warung
kecil yang menjual barang-barang kebutuhan sederhana seperti baras, telur, dan
beberapa barang lainnya. Rumah itu agak kecil selain itu di samping rumah itu juga terdapat beberapa kamar mandi
umum. Itulah usaha yang dilakukan oleh Bu RT selain menjadi pengurus RT keluarganya
juga mendirikan jasa kamar mandi umum. Kulihat tidak ada penjaga di Warung itu
seperti biasa. Mungkin karena selepas waktu maghrib jadi penghuninya masih
beribadah. Tapi aku juga tidak mau berlama-lama disini.
“Permisi..”
ucapku. Tapi tidak ada sahutan. “Permisi..” ulangku.
“Ga
pada denger kali, neng. Digebrak aja mejanya” seringai mereka
“Yang
ada bukannya dilayanin malah diomeli. Bego lu” jawab salah satu dari mereka. Tak
lama kemudian seorang anak laki-laki seumuranku keluar dari dalam rumah.
“Lumayan cakep…” pikirku. Tapi aku segera
sadar niatku yang semula datang kesini.
“Aduh…
kok yang keluar anak cowok seumuranku sih? Cakep lagi” pikirku. Aku masih diam
“Mau
beli apa, mbak?” tanyanya. Aku pun mulai gugup. Cowok itu masih berdiri
menunggu jawabanku. Aku hanya bisa tersenyum malu.
“Eee…
mau beli… beli…” ucapku terbata-bata. Dia masih mencoba mendengarkan tapi aku
kembali gugup
“Yang
bener aja. Masak aku minta pembalut ama anak cowok? Aduh….” Batinku
Pemuda-pemuda
di seberang Warung juga masih memperhatikanku
“Eh,
Ris. Tanyain dong si enengnya. Kok malah diem-dieman” ujar salah satu dari
mereka. Kami pun mulai canggung
“Udah,
neng. Langsung bilang aja mau beli apa. Si Aris emang kadang gitu” ucap salah
satu dari mereka.
“Jadi
namanya Aris” pikirku. Tapi tetap saja dia cowok dan aku sebelumnya juga ga
pernah berhadapan sama cowok buat beli barang itu. Aku pun celingukan sambil
menggatuk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena frustasi.
“Mbak?”
panggil si penjual yang katanya bernama Aris. Aku pun menghela napas.
“E…
beli… pembalut” jawabku lirih karena aku takut pemuda di belakangku
mendengarnya.
Aris mulai mencari-cari di setiap
rak Warung itu dengan wajah bingung. Sekarang gantian dia yang celingukan
mencari-cari barang tapi segera dia menatapku lagi
“Beli
apa mbak?” tanyanya bingung.
Aku
tambah frustasi karena harus mengucapkannya sekali lagi.
“Ee…
beli… itu… pembalut” jawabku lirih. Sekarang gentian dia yang garuk-garuk
kepala padahal aku tahu pasti kepalanya tidak gatal sambil terus mencari-cari.
Aku mulai gemas melihatnya.
“Kenapa
lama banget sih..” batinku. Aku pun ikut-ikutan mengamati setiap sudut Warung
itu untuk mencari benda itu secepatnya agar aku tidak lama-lama merasa malu
disana. Aku pun menemukan barang yang aku cari di sudut Warung itu, tepatnya
digantung di paku. Tapi aku urung menunjuknya karena takut pemuda-pemuda di
seberang malihatnya.
“Sebenernya
mau beli apa sih, neng?” Tanya salah seorang pemuda di seberang Warung.
Sepertinya mereka juga mulai penasaran. Aku mulai celingukan lagi karena
bingung.
“Apa
aku harus bilang ke mereka? Tapi yang bener aja, mereka kan cowok” batinku.
“E…
beli-” belum selesai aku menjawab tiba-tiba Bu RT keluar dari dalam rumah.
Melihat Aris kebingungan Bu RT pun penasaran dan bertanya padaku
“Mau
beli apa, neng?” Tanya beliau. Benar-benar frustasi tingkat tinggi. Sekarang
aku harus mengatakannya untuk yang ketiga kalinya.
“Aduh
Gusti… mau beli pembalut aja kok ampe segininya sih? Tahu gini aku bawa satu
boks sekalian dari kampung” batinku. Tapi mau tidak mau aku harus mengulang
perkataanku lagi
“Ee…
itu bu… mau beli pembalut” jawabku lirih.
“Oh…
pembalut” Kata Bu RT
“Oh…
pantesan si Aris bingung” ujar pemuda di seberang Warung yang mengamati kami
“Oh…
bilang aja beli ‘Roti’ gitu, neng. Pembalut mah dia ga tahu” ujar Bu RT
menunjuk Aris. Ia pun tersenyum malu begitu pula denganku. Sedangkan pemuda di
seberang Warung itu tertawa. Beliau pun mengambil sebungkus pembalut yang di
pojok Warung itu dan memberikannya padaku.
Aris masih diam dengan raut muka merah begitu pula denganku. Setelah
membayarnya aku pun langsung beranjak pulang setelah mengucapkan terima kasih.
Aku berjalan menunduk sambil
berpikir betapa malangnya aku. Kenapa aku harus menghadapi situasi seperti
tadi. Aku benar-benar merasa malu seakan-akan seluruh isi dunia menertawakanku.
Sesampainya di rumah aku menutup
pintu rapat dan langsung menghampiri kakakku yang berbaring di ruang tengah
“Mbak….
Aku ga mau ke Warung itu lagi” ucapku kesal.
“Lho
kenapa?” Tanya kakakku bingung.
“Aku
malu banget…” aku pun menceritakan kejadian di Warung tadi pada kakakku. Ia pun
tersenyum padaku.
“Ga
apa-apa, makanya sekarang kamu sudah tahukan kalau kamu sudah bukan anak kecil
lagi. Kamu udah gede, jadi jangan suka manja lagi” ucapnya tersenyum.
“Lho,
apa hubungannya coba?” pikirku.
Semenjak kejadian malam itu aku
tidak berani beli barang itu di sembarang tempat. Dan selalu mengecek
persediaannya sedini mungkin agar terhindar dari kemungkinan yang tidak
diinginkan seperti kemarin.
SELESAI
No comments:
Post a Comment