Thursday, November 1, 2012

CERPEN REMAJA


SAMA-SAMA MALU

  
            Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah usai kulalui, tepatnya pada tanggal 27, 28, 29 dan 30 April tahun 2009. Selama empat hari itu hidupku terasa di ujung tanduk. “Inilah saat penentuan ‘Hidup Mati’ku ” pikirku waktu itu.
Bagaimana tidak? Itu adalah pengalaman pertamaku dalam menempuh Ujian Nasional (UN). Sebenarnya dulu waktu aku masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) wali kelasku waktu itu bilang kalau pemerintah masih mempertimbangkan apakah pelajar tingkat SD maupun MI juga akan menempuh Ujian Akhir Nasional seperti pelajar tingkat SMP/MTS dan SMA/MA baik sekolah yang negeri maupun yang swasta sebagai tolak ukur pendidikan yang telah dijalani selama mereka belajar di masing-masing tingkatan sekolah.
Selain itu, tujuan lain dari Ujian Akhir Nasional juga untuk memudahkan pemerintah dalam menilai kemampuan pelajar negeri ini dengan menetapkan kelulusan bagi mereka yang telah berhasil menempuh Ujian yang dibuat oleh Dinas Pendidikan Nasional Pusat di Jakarta. Waktu itu nilai kriteria kelulusan masih 4,00 dan untuk SD/MI mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Aku dan teman-temanku merasa terbebani dengan rencana itu, kami berpikir “Apa kita mampu mengerjakan soal-soal ujian?”. Dibanding dengan anak-anak di Sekolah Dasar yang notabene lebih banyak mendapat pembelajaran mengenai mata pelajaran umum di sekolahku pembelajaran lebih ditekankan mengenai pelajaran keagamaan kira-kira hampir 50 %.
Namun, setelah pemerintah melakukan rapat dengan pihak Dinas Pendidikan akhirnya pada saat itu untuk SD/MI belum diterapkan Ujian Akhir Nasional (UAN) namun masih tetap menggunakan sistem Ujian Akhir Sekolah (UAS) seperti tahun-tahun sebelumnya. Lega rasanya hatiku saat itu begitu pula dengan teman-temanku lainnya.
Tiga tahun telah berlalu, aku telah menempuh hampir tiga tahun belajar di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tentu bukan hal mudah untukku agar bisa diterima di Sekolah Negeri. Aku harus melewati tes tertulis bersama dengan murid-murid Sekolah Dasar dan Madrasah dari berbagai daerah yang masih mencakup satu kecamatan lain. Sekali lagi, aku kembali merasa bimbang “Apa aku mampu bersaing secara langsung dengan mereka?” pikirku waktu itu. Saat itu dibanding anak-anak dari MI, lebih banyak anak-anak dari Sekolah Dasar yang ikut dalam tes itu. Dan aku juga sudah pesimis “Aku pasti gagal. Mereka terlihat lebih pintar” batinku. Tapi, Tuhan berkata lain, aku tidak menyangka bahwa aku dan teman satu sekolah sekaligus tetanggaku itu masuk dalam kategori siswa yang lolos tes dan diterima di sekolah itu.
Usai menempuh Ujian Akhir Nasional, aku harus menempuh Ujian Akhir Sekolah yang mencakup semua mata pelajaran kecuali mata pelajaran Ujian Nasional dan juga Ujian Praktik. Aku begitu menikmati saat-saat ujian tersebut, bagiku ini adalah pengalaman terakhirku menempuh ujian bersama teman-teman dan sahabatku. Berat rasanya mengetahui dalam dua bulan terakhir ini adalah masa terakhir kebersamaan kami di SMP. Banyak kejadian dan pengalaman yang telah mengubah pandanganku terutama soal teman dan sahabat.
Memasuki akhir bulan Mei, aku dan teman-temanku sudah bebas dari tugas sekolah. Tapi, untuk mereka yang mendapat tugas menjadi panitia dalam acara Pentas Seni (PENSI) yang akan diadakan pada tanggal 4 Juni nanti tengah sibuk mengadakan rapat dan persiapan dalam acara tersebut sebab kepanitian acara tersebut dipegang oleh siswa dan siswi kelas sembilan. “Kalian kan sudah menikmati acara PENSI dalam dua tahun terakhir, dan sebagai senior kelas sembilan lebih bisa diandalkan dari pada adik kelas kalian yang masih kelas tujuh dan delapan” kata Pak Gito guru mata pelajaran agama yang juga sering aktif dalam kagiatan sekolah dan kesiswaan.
Sampai H minus 1 mereka masih sibuk mendekorasi panggung dan melakukan geladi bersih untuk siswa-siswi kelas tujuh, delapan, dan sembilan yang akan tampil untuk memeriahkan acara PENSI yang juga bisa disebut acara perpisahan karena pihak sekolah tidak mengadakan acara perpisahan.
Esoknya, Acara Pentas Seni diawali dengan pameran lukisan, batik, dan kerajinan tangan karya siswa-siswi kelas sembilan dan delapan yang mendapat nilai di atas rata-rata, selanjutnya acara dimeriahkan oleh penampilan vokal akustik dan band dari kelas delapan dan sembilan. Terlebih anggota band yang tampil juga kebanyakan merupakan pemain basket dan voli yang menjadi bintang di  kalangan siswa dan siswi di Sekolah ini karena merupakan cabang olah raga yang banyak diminati. Di puncak acara penampilan dancer yang selalu ditunggu-tunggu dan dapat memeriahkan suasana dari siswi-siswi yang tenar dan cantik yang selalu menjadi pusat perhatian di kalangan siswa dan siswi.
Selama acara PENSI berlangsung, aku dan teman-temanku menyempatkan untuk mengambil foto bersama, termasuk bersama anggota band dan dancer khususnya dari kelas sembilan. Acara PENSI ini terbuka untuk umum termasuk untuk warga sekitar yang melihat dari luar pagar sekolah. Alumni juga sering datang dalam setiap acara PENSI di sekolah kami. Acara berlangsung mulai pukul delapan pagi hingga pukul satu siang.
Sepulangnya dari acara PENSI di sekolah, aku tiba-tiba dikejutkan dengan rencana dadakan ibu yang mengusulkan aku untuk pergi berlibur ke Jakarta ke tempat kakak perempuanku selama menunggu hasil pengumuman ujian. Tapi tidak seperti liburanku yang biasanya, kali ini aku diminta untuk memberanikan diri naik travel milik Pak Gofur tujuan Jakarta yang dulunya juga merupakan langganan ibu sewaktu dulu pertama kali pergi ke Jakarta untuk membeli barang dagangan yang nantinya akan dijual di kampung. Tapi yang benar saja, umurku belum ada lima belas tahun. “Mana berani aku?” tapi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya aku mencoba. “Anggap ini adalah sebuah tes agar aku bisa lebih mandiri. Agar aku tidak selalu bergantung kepada orang lain”. Akhirnya aku setuju untuk pergi ke Jakarta sendiri. selepas Isya aku dijemput oleh travel dan kami pun berangkat bersama penumpang lain.
Tepat subuh travel yang kutumpangi memasuki wilayah Bekasi. Dan travel pun mulai mengantarkan penumpang satu per satu ke tempat tujuan penumpang di daerah tersebut. “Aku pasti giliran terakhir” pikirku karena tempat tinggal kakakku berada di Kawasan Industri tepatnya di Pulogadung Jakarta Timur karena di daerah itulah tempat yang paling strategis menurut Ibu untuk mencari barang dagangan karena berada tepat di belakang pabrik-pabrik besar khususnya pabrik insdustri rumah tangga seperti sabun, selain itu juga ada pabrik air minum, semen, pabrik pengolahan kayu, pabrik kertas, pabrik pengolahan aluminium, pabrik plastik, penerbit buku seperti Balai Pustaka dan pabrik pembuatan tempat kosmetik dimana kakakku bekerja selama kurang lebih tiga tahun. Namun, kami menyempatkan untuk berhenti sejenak di mushola daerah perumahan padat penduduk yang masih di daerah Bekasi untuk menunaikan sholat subuh, setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
Seperti yang aku duga, aku mendapat giliran terakhir. Bahkan parahnya Pak Gofur dan kenetnya Mas Azam malah membawaku ke tempat kontrakan mereka di  Kampung Rawa Sari daerah Pasar Senen Jakarta Pusat.
“Tunggu di sini aja yo, nduk?” kata Pak Gofur memasukkan tas ranselku ke dalam kamar ukuran 5 x 5 meter yang ia jadikan tempat istirahat setelah semalaman mengemudikan travelnya. Selain itu tempat itu juga ia jadikan pangkalan menunggu penumpang yang akan memakai jasa travelnya untuk mengantarkan mereka kembali ke Pekalongan dan daerah sekitarnya. Aku pun ikut masuk ke dalam kontrakan itu.
“Kok aku ga dianter ke rumah sekalian?” tanyaku.
“Gimana nduk ya? Bapak lupa jalan ke rumahmu. Maklum ibumu kan udah lama ga naik travel Bapak dan penumpang-penumpang Bapak itu kebanyakan dari daerah Jakarta Pusat sama Jakarta Selatan. Jadi Bapak ga begitu hafal daerah ibumu” kata Pak Gofur menjelaskan.
“Terus aku pulangnya gimana?” tanyaku lagi.
“Nanti Bapak telpon ibumu minta kakakmu jemput ke sini yo?” Pak Gofur pun menengok ke luar kamar.
“Zam, minta teh panas dua gelas buat genduk ini sambil nunggu kakaknya datang” kata Pak Gofur pada Mas Azam yang sedang ngeteh di Warung depan kamar kontrakan itu.
“Oh, siip” jawab Mas Azam yang tak lama kemudian datang membawa dua gelas teh panas.
“Diminum dulu,nduk” ucap Pak Gofur memberikan segelas teh padaku.
“Terimakasih” ucapku.
“Bapak Mau pesan bubur ayam di depan kamu mau? Tadikan kita belum sempat sarapan. Bapak takut nanti dimarahi ibumu kalau kamu kenapa-kenapa” ucapnya sembari menyeruput teh panasnya.
“Makasih tapi aku ga laper kok. Bapak aja yang pesan” jawabku.
“Ya udah, kalo udah lapar bilang aja sama Azam. Biar dia yang belikan”
“Bapak mau ke depan. Kamu istirahat aja dulu disini” ujarnya yang kemudian keluar dengan membawa gelas tehnya. Aku melirik jam dinding kamar itu tepat pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Aku pun mengambil ponsel di tasku dan menelpon kakakku.
            Setelah menunggu selama kurang lebih tiga puluh menit kakakku pun datang menjemputku dengan ojek. Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit kami pun sampai di rumah, aku pun langsung mandi kemudian tidur karena semalaman berada di mobil membuat ototku terasa kaku.
“Nduk, mbak ga masak apa-apa tapi tadi mbak sempet beli nasi uduk kamu makan aja, mbak kayaknya ga enak badan mau tiduran dulu” katanya.
            Malam harinya saat hendak sholat maghrib tiba-tiba aku mengetahui kalau aku datang bulan. Aku pun meminta pembalut pada kakakku.
“Tapi ini yang terakhir, kamu habis ini beli sendiri di Warung depan ya. Mbak ga enak badan” katanya.
“Warung depan? Maksudnya Warung punyanya Bu RT?” tanyaku. Aku memang hampir tiap tahun melewatkan liburan di sini bersama ibu dan kakakku. Makanya tidak heran kalau aku sedikit tahu siapa penghuni-penghuni tetap di sini.
“Iya. Ini uangnya” ujarnya sambil memberikan uang dua puluh ribu. Aku pun setuju walau sebenarnya aku agak malu untuk keluar rumah apa lagi ke Warung. Karena di depan Warung itu seringkali dijadikan tempat berkumpul para pemuda di sekitar sini. Tapi mau tidak mau aku harus kesana. Kalau dalam ilmu ekonomi mungkin ini termasuk kebutuhan primer buatku.
            Aku pun keluar rumah, Seperti yang aku duga, dari teras aku sudah bisa melihat sekitar lima pemuda sedang berkumpul bermain catur di depan Warung tepatnya di seberang jalan.
“Kenapa mereka kumpulnya cepet banget sih?” pikirku. Aku mulai celingukan mengamati suasana sekitar untuk memastikan bahwa suasana tidak ramai.
“Huft… aman…” batinku karena tidak ada orang yang lewat seperti pagi dan sore hari yang ramai dilewati oleh para pegawai pabrik yang hendak berangkat atau pulang kerja.
“Aduh…. Gimana dong…  aku takut. Bagaimana kalau sampai mereka dengar kalo aku mau beli pembalut… kan malu”  batinku. Aku pun menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan.
“Oke. Ga apa-apa. Mereka kan lagi sibuk main catur jadi mereka ga akan sempet merhatiin aku” pikirku.
Aku pun berjalan ke Warung yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari rumahku. Sengaja aku tidak menatap ke arah pemuda-pemuda itu karena aku tidak mau mengundang perhatian mereka. Sambil berjalan aku terus berdoa dalam hati sambil menunduk.
“Semoga mereka ga lihat aku… semoga mereka ga lihat aku… semoga mereka ga lihat aku”. Saat aku berjalan tepat di depan mereka barulah aku sadar bahwa doaku tadi sia-sia. Mereka tetap saja melihatku dan bersiul-siul. Bahkan mereka juga mulai berkata usil.
“Neng, dari mana mau kemana nih?” Tanya salah satu dari mereka.
“Baru dateng ya? Kok jarang keliatan?” Tanya mereka lagi. Benar-benar menyebalkan harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku pun tidak bisa berkata apa-apa selain tersenyum pada mereka karena aku tidak mau mereka salah paham mengira aku orang yang aneh.
Aku pun sampai di sebuah rumah  yang menjadikan terasnya menjadi sebuah Warung kecil yang menjual barang-barang kebutuhan sederhana seperti baras, telur, dan beberapa barang lainnya. Rumah itu agak kecil selain itu di samping  rumah itu juga terdapat beberapa kamar mandi umum. Itulah usaha yang dilakukan oleh Bu RT selain menjadi pengurus RT keluarganya juga mendirikan jasa kamar mandi umum. Kulihat tidak ada penjaga di Warung itu seperti biasa. Mungkin karena selepas waktu maghrib jadi penghuninya masih beribadah. Tapi aku juga tidak mau berlama-lama disini.
“Permisi..” ucapku. Tapi tidak ada sahutan. “Permisi..” ulangku.
“Ga pada denger kali, neng. Digebrak aja mejanya” seringai mereka
“Yang ada bukannya dilayanin malah diomeli. Bego lu” jawab salah satu dari mereka. Tak lama kemudian seorang anak laki-laki seumuranku keluar dari dalam rumah.
 “Lumayan cakep…” pikirku. Tapi aku segera sadar niatku yang semula datang kesini.
“Aduh… kok yang keluar anak cowok seumuranku sih? Cakep lagi” pikirku. Aku masih diam
“Mau beli apa, mbak?” tanyanya. Aku pun mulai gugup. Cowok itu masih berdiri menunggu jawabanku. Aku hanya bisa tersenyum malu.
“Eee… mau beli… beli…” ucapku terbata-bata. Dia masih mencoba mendengarkan tapi aku kembali gugup
“Yang bener aja. Masak aku minta pembalut ama anak cowok? Aduh….” Batinku
Pemuda-pemuda di seberang Warung juga masih memperhatikanku
“Eh, Ris. Tanyain dong si enengnya. Kok malah diem-dieman” ujar salah satu dari mereka. Kami pun mulai canggung
“Udah, neng. Langsung bilang aja mau beli apa. Si Aris emang kadang gitu” ucap salah satu dari mereka.
“Jadi namanya Aris” pikirku. Tapi tetap saja dia cowok dan aku sebelumnya juga ga pernah berhadapan sama cowok buat beli barang itu. Aku pun celingukan sambil menggatuk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena frustasi.
“Mbak?” panggil si penjual yang katanya bernama Aris. Aku pun menghela napas.
“E… beli… pembalut” jawabku lirih karena aku takut pemuda di belakangku mendengarnya.
            Aris mulai mencari-cari di setiap rak Warung itu dengan wajah bingung. Sekarang gantian dia yang celingukan mencari-cari barang tapi segera dia menatapku lagi
“Beli apa mbak?” tanyanya bingung.
Aku tambah frustasi karena harus mengucapkannya sekali lagi.
“Ee… beli… itu… pembalut” jawabku lirih. Sekarang gentian dia yang garuk-garuk kepala padahal aku tahu pasti kepalanya tidak gatal sambil terus mencari-cari. Aku mulai gemas melihatnya.
“Kenapa lama banget sih..” batinku. Aku pun ikut-ikutan mengamati setiap sudut Warung itu untuk mencari benda itu secepatnya agar aku tidak lama-lama merasa malu disana. Aku pun menemukan barang yang aku cari di sudut Warung itu, tepatnya digantung di paku. Tapi aku urung menunjuknya karena takut pemuda-pemuda di seberang malihatnya.
“Sebenernya mau beli apa sih, neng?” Tanya salah seorang pemuda di seberang Warung. Sepertinya mereka juga mulai penasaran. Aku mulai celingukan lagi karena bingung.
“Apa aku harus bilang ke mereka? Tapi yang bener aja, mereka kan cowok” batinku.
“E… beli-” belum selesai aku menjawab tiba-tiba Bu RT keluar dari dalam rumah. Melihat Aris kebingungan Bu RT pun penasaran dan bertanya padaku
“Mau beli apa, neng?” Tanya beliau. Benar-benar frustasi tingkat tinggi. Sekarang aku harus mengatakannya untuk yang ketiga kalinya.
“Aduh Gusti… mau beli pembalut aja kok ampe segininya sih? Tahu gini aku bawa satu boks sekalian dari kampung” batinku. Tapi mau tidak mau aku harus mengulang perkataanku lagi
“Ee… itu bu… mau beli pembalut” jawabku lirih.
“Oh… pembalut” Kata Bu RT
“Oh… pantesan si Aris bingung” ujar pemuda di seberang Warung yang mengamati kami
“Oh… bilang aja beli ‘Roti’ gitu, neng. Pembalut mah dia ga tahu” ujar Bu RT menunjuk Aris. Ia pun tersenyum malu begitu pula denganku. Sedangkan pemuda di seberang Warung itu tertawa. Beliau pun mengambil sebungkus pembalut yang di pojok Warung itu dan memberikannya padaku.  Aris masih diam dengan raut muka merah begitu pula denganku. Setelah membayarnya aku pun langsung beranjak pulang setelah mengucapkan terima kasih.
            Aku berjalan menunduk sambil berpikir betapa malangnya aku. Kenapa aku harus menghadapi situasi seperti tadi. Aku benar-benar merasa malu seakan-akan seluruh isi dunia menertawakanku.
            Sesampainya di rumah aku menutup pintu rapat dan langsung menghampiri kakakku yang berbaring di ruang tengah
“Mbak…. Aku ga mau ke Warung itu lagi” ucapku kesal.
“Lho kenapa?” Tanya kakakku bingung.
“Aku malu banget…” aku pun menceritakan kejadian di Warung tadi pada kakakku. Ia pun tersenyum padaku.
“Ga apa-apa, makanya sekarang kamu sudah tahukan kalau kamu sudah bukan anak kecil lagi. Kamu udah gede, jadi jangan suka manja lagi” ucapnya tersenyum.
“Lho, apa hubungannya coba?” pikirku.
            Semenjak kejadian malam itu aku tidak berani beli barang itu di sembarang tempat. Dan selalu mengecek persediaannya sedini mungkin agar terhindar dari kemungkinan yang tidak diinginkan seperti kemarin.


SELESAI

No comments:

Post a Comment